Mentari kini telah
kembali hadir didalam kehidupanku. Aku
pun meronta menelok mata karena segala aktifitasku akan berjalan. Seperti biasa
ibuku telah bangkit dari mimpinya. Bermimpi hari ini akan menjadi manusia yang
lebih baik lagi dari sebelumnya dan tak kekurangan apapun, walaupun pada
kenyataannya keluargaku jauh dari ketercukupan.
Sepanjang
perjalanan menuju tempat menuntut ilmu. Kudengar kicauan burung menghiasi pagi
yang cerah andai aku tak membawa semua perabotan yang didalamnya berisikan
beberapa tumpuk roti yang akan aku jual.
Pasti aku tak akan serepot ini. Iya ,ini adalah nasibku dan keluargaku. Jika
tidak membawa semua ini aku sekeluarga tak akan bertahan hidup hingga saat ini.
Sesampai didepan
sekolah temanku memanggil. “wan, seperti biasa roti gorengnya 2 iya yang rasa
kacang hijau ”. Setiap pagi menjelang masuk kelas teman-temanku membeli roti
yang dibuat oleh ibuku. Entahlah aku binggung, mereka membeli rotiku karena
kasihan padaku atau karena alasan lain.
Andai bapakku tak
meninggal saat bekerja di sawah. Aku tak akan menjual roti-roti buatan ibuku.
Ibuku sebenarnya tak ingin melihat aku ikut merasakan kehidupan pahit hidup
didunia ini. Jujur aku iri melihat teman-teman sebayaku hidup tak serba
kekurangan. Tuhan,menurutku semua ini tak adil. Ibuku selalu berpesan jangan
pernah melihat orang lain yang di atas kita melainkan lihatlah orang lain yang
ada dibawah kita. Sehingga kita dapat bersyukur atas segala nikmat yang telah
diberikan TUHAN kepada kita nak! Dalam hatiku berbisik apa yang dikatakan ibu
benar dan tak seharusnya aku menggeluh seperti ini. Itulah tahun pertama yang
aku rasakan saat harus membantu ibuku mencari uang dan kehilangan kasih sayang
dari seorang bapak.
Sepotong roti ini
sangat berharga untukku. Walaupun harganya hanya seribu perak. Karena diolah
dengan cucuran keringat ibu yang bangkit sejak subuh. Rasanya ketika subuh datang
aku ingin membantu ibuku mengolah tepung hingga menjadi roti yang siap
dinikmati. Hmm,lagi-lagi ibuku tak mengizinkan aku untuk melakukan hal itu.
Padahal itu cita-citaku sejak 3 tahun yang lalu. Mungkin cita-cita ini
merupakan cita-cita teraneh bagi beberapa orang. Besok aku harus bangun lebih
awal lagi dan membantu mengolah roti.
Sinar cahaya
mentari yang tinggi membuat seluruh badanku basah. Takku hiraukan semua
itu,karena aku ingin mengetahui hasil pendapatanku untuk hari ini. Dalam hatiku
semoga lumayan. Kuhitung dengan jemariku perlahan-lahan. Dengan bunyi perutku.
Hari ini aku hanya mendapatkan 20ribu saja. Kecewa! Itu yang aku rasakan.
Berjalan dengan kaki tak beralaskan sepatu melainkan hanya sandal jepit yang
diberikan oleh tetanggaku. Kepalaku menunduk menatap bebatuan yang aku
terlusuri. Memikirkan apa uang hasil hari ini cukup untuk makan sekeluarga. Aku
dan ibuku tak pernah mempermasalahkan makanan apa yang dapat dimakan. Tapi
adiku Ani, pasti mempermasalhkannya. Aku tak mengerti dengan adikku. Mengapa
iya tak sependapat denganku?
Sebuah gubug reot
tak layak huni beralaskan tanah tempat tinggalku. Ibuku menyambut dengan penuh
suka cita. Dan adikku tersenyum indah
bagai bulan purnama. Untungnya hari ini iya tak rewel soal makan. Bahkan iya
ingin membantuku untuk berjualan roti. Puji syukur sebesar-besarnya aku
panjatkan kehadapan Tuhan.
**
Pagi ini aku berhasil
bangun lebih awal dan membantu mengolah tepung menjadi roti. Tak hanya aku yang
ikut membantu adikku yang biasanya malas tiba-tiba menjadi rajin. “kak wawan
ani minta maaf kalo selama ini ani tidak pernah membantu ibu tapi sekarang ani
berjanji akan melakukannya sesering mungkin. Karena hanya dengan ini kita
sekeluarga dapat bertahan hidup dan ani dapat sekolah”. Mendengar kata-kata
lugu dari bibir adikku , aku sangat gembira.
Saat ibuku
terbangun, ia hanya tersenyum merona indah. Aku tahu apa yang ibuku pikirkan.
Hari ini adalah hari yang terindah untukku. Namun aku juga berdoa agar selama
hari ini aku tak mendapatkan rintangan yang berbahaya. Itu doaku. Hari makin
lama makin bersinar,itu menunjukkan bahwa aku harus pergi ke sekolah. Semoga
hasil hari ini lebih baik daripada hari kemarin. Aku harus mendapatkan uang
lebih banyak lagi, karena sebentar lagi aku akan tamat sekolah menengah atas.
Ijazah ini akan aku gunakan untuk mencari pekerjaan yang layak. Agar ibu dan
adikku dapat hidup sebagaimana mestinya. Walaupun ujian tinggal memghitung
hari, namun wawan tetap bekerja. Dan tidak lupa belajar untuk mempersiapkan
ujian yang akan ia tempuh. Dengan hidup serba kekurangan wawan bertekat untuk
maju. Ia tak ingin selamanya menjadi seorang yang tidak berguna. Ia berpikir
percuma saja ibunya menyekolahkannya dari penjualan roti, kalau ia
menyia-nyiakan semua anugrah yang Tuhan berikan padanya.
***
Hari yang di nanti-nanti
datang jua akhirnya. Dengan penuh percaya diri wawan menjawab soal satu
persatu hingga tuntas. Persiapan yang
telah ia lakukan telah matang. Walau ia tak memiliki fasilitas yang
memadai,namun ia mensyukuri hal tersebut karena teman-temanya meminjamkan
buku-buku. Ujian berlangsung selama 4hari. Perasaan lega kini ia rasakan.
Tinggal menunggu hasilnya saja, semoga memuaskan. Setelah ia menunggu dan
menerima ijazah, ia berencana pergi ke kota. Di kota semaranglah ia mencoba
mengubah nasibnya. Ia pun bekerja dari nol. Apa pun pekerjaan yang ia dapatkan
selalu ia terima dan lakukan dengan baik. Hingga suatu ketika salah satu
seorang direktur perusahaan melihatnya. Dan apa yang tejadi?
Ia di tawari
bekerja di dalam perusahaan yang tergolong bagus. Pertama ia ditawari sebagai
office boy, namun ada hal yang sangat mengejutkan. Ia mendapatkan beasiswa
untuk mendapat gelar sarjana ekonomi. Tak lama ia menyabet
gelar SE
, sehingga sang direktur mengangkatnya menjadi ketua
capem di wilayah semarang. Ia pun tak lupa dengan ibu serta adiknya,dibawanya
mereka ke kota. Dan tinggalah mereka di sebuah rumah munyil sederhana
,namun cukup teduh. Hal ini membuat wawan menjadi orang
sukses. Ternyata roti yang di buat ibunya merupakan berkah dari Tuhan. Jika
saja ia tak membantu ibunya menjual roti-roti goreng itu, tak mungkin ia akan
menjadi seorang seperti saat ini.
0 komentar:
Posting Komentar